Total Pageviews

Tuesday, November 17, 2009

Jakarta dan Segala Tentangnya

Menerobos jalanjalan lebar Jakarta, serasa Menyeruput sinarsinar lampu yang hobi menghabiskan pekat dan kilau bintangnya malammu. Hangat, memukau dan melepas dahaga.Bermilmil terukur dengan rodaroda waktu seumur jagung, menjejak tanahmu membangun pagi, menyusun piramida bawah sadar yang menguap.Lelah, amarah, gegar, kecewa,sedih, riang menggadogado.
Selalu tersisa gemerlapmu ketika kubunuh rinduku padanya, halaman rumahku yang menggoda tuk hadir kan kuningnya savannah, hijaunya gunung, birunya teluk serta lepasnya laut ke horizon langit.Kau buatku kembali memujamu dengan angkuhmu, aroganmu yang sangat retro, kekejamanmu yang menyerigala dan segalanya tentangmu: tentang para pengemis, tentang bromocorah, tentang tikustikus, tentang ini tentang itu=semuanya dengan symbol dan label yang sama: miris mengiris…
Duhai Jakarta, telah kaupukau aku dengan undanganundangan operamu disini, cahayacahaya lampu panggungmu disana, kerlipkerlip komunitasmu dimanamana, belum lagi kerlapkerlap para bintang dan jetsetmu yang kosmo, dan aku dan upaya transformasiku anut gaya hidup, yang hijau, yang hitam, yang merah, atau yang kelabu? Hingga karibku yang berkarib dengan pembenci Jakarta, akan kibarkan bendera putih ketika ada saja, momenmomen yang tak tergantikan pilihannya, dan putuskan dirimu!!
Duhai, Jakarta…
Kau buatku mulai jatuh…
Jakarta, Nopember 2009

Friday, November 13, 2009

Menggugah langit


Oh, derap kaki pagi membaur riang mengejari siang
yang sekejap mengganti aroma rumput dan embun yang
tipistipis dan
telah menggeser malam pekat dengan
silih gantinya
tanyatanya terencana
di gedung bundar, di sel sel mewah, diwarung-warung

Aku termangu,

Lihat! anakanak negri ini gundah, dan aku berdiri menjinjit jari
Sebab mata lahir batin yang terbatas,
Tak mampu lagi memapar simbolsimbol atau
Mentesakan ini dan meng antitesakan itu

Mereka, anakanak negri ini,
Yang dibuai dunia baru,
Dunia antah berantah yang seketika terbangkan mereka dari dunia nyata
Tlah bermimpi melawan sang kuasa yang,
Tak lagi sekedar mimpi

Menghujat para lalim dan cukongcukong super duper yang
aruhi keputusan, dari RI 1 hingga RI tonga
membelalakkan matamata dari sabang hingga merauke
mengejutkan jiwajiwa kosong dan hilang nyali hingga sadarkan bahwa,
masih ada nurani yang bisa bicara:

“wahai semua leluhur-leluhur nusantara,
Hari ini kami berkumpul membangunkan petinggipetinggi tanah ini
Yang tetap haus dan lapar meskipun dahaga selesai dan perut gembul “
“wahai semua pahlawan yang tersebut namanya dengan tinta sejarah
Bantulah kami lepaskan diri dari penjajah
Materialisme dan borok kapitalisme ”

Namun, seketika aku terpekur,
Pantaskah kami memanggil semua arwah kalian,wahai para leluhur?
Akankah dengan menyeru namamu akan selesai hingar bingar negri ini?
Pantaskah hanya doadoa belaka yang terucap,yang mungkin aliri begitu saja lidah ini?
Ataukah kami tinggal menunggu tsunami raksasa berikut yang akan menggulung dan menyisakan tiada
Yang tinggalkan alibialibi kosong dan orasiorasi melompong?

Dan Rendra akan bangkit dan sekali lagi dengan lantang memanggil hatihati kaum muda yang murni dengan darah segar dan berkalikali menyumpah:
“Dengan puisi ini aku bersaksi:
Bahwa hati nurani ini mesti dibakar
Tidak bisa menjadi abu
Hati nurani senantiasa bisa bersemi
Meski sudah ditebang putus di batang”*

Mohon ampun, wahai semua baginda leluhur!

*Dari puisi W.S. Rendra, “Rayu Rayu Santi”
Jakarta, 8 Nopember, 2009