Total Pageviews

Tuesday, September 16, 2008

On Ramadhan reflection

Telah ke 16 hari dalam Ramadhan, bulan terbaik dari seluruh bulan.

Jika hari ini hari ke 16, hari yang menjemput Lailatul Qadr adalah hari ini, dan malam ini adalah Malam Kemuliaan. Hari ini banyak ditunggu oleh para "Pencari Tuhan" untuk semakin banyak beribadah, memperbesar pahala, meraih tiket lahir sebagai fitri kembali. Saat Tuhan menghapus dosa-dosa, mencuci semua khilaf dan salah, saat Tuhan menyeka airmata hamba-hamba-Nya yang dekat dengan-Nya, saat semua yang dilakukan mereka bernilai ibadah dari bangun tidur hingga tidur kembali, hingga tidur pun adalah ibadah. Idealnya, terasa Ramadhan kian membuka hati mereka, mencharge kembali setelah hampir habis energi jiwa mereka dalam setahun. Hingga Malam Lailatul Qadr harusnya merupakan puncak prosesi ibadah. Yang, sangat mungkin berakhir indah, makin menebalkan iman yang mereka pupuk dari waktu ke waktu. Namun bagi saya, malam Lailatul Qadr belum terasa. Belum get into the feeling. Masih jauh di pintu masuk atau pintu keluar Ramadhan. Seperti masih tersangkut di awal atau di akhir bulan. Bukan ditengahnya. Atau mungkin bersembunyi dalam irisan-irisan bulan? Entah.

Ramadhan tahun ini seakan 'memburu' dan 'diburu', juga seolah 'buru-buru'. Ramadhan hanya 'memburu' mereka yang mencari Tuhan tanpa lelah. Ramadhan 'diburu' oleh mereka, juga dengan tanpa lelah. Sehingga, Ramadhan buatku jadinya seperti 'buru-buru' meninggalkanku. Belum lagi masuk merasuk dalam jiwa dan raga, ia sudah harus pamit pergi.Dan belum pasti akan bertemu kembali tahun mendatang.

Saat semua bersemangat menyongsong Malam Kemuliaan itu, saya terpekur menyadari betapa masih jauh diri ini menghadirkan Dia dalam sholat.Apalagi dalam keseharian. Dia belum hadir sepenuhnya ketika harusnya saya "connecting" langsung ke Arasy-Nya. Masih gagal membersihkan hati ini dari rongsokan-rongsokan dosa. Bergunung-gunung jumlahnya. Jika demikian, berkaratkah jiwa ini? Cermin hati ini sepertinya sudah tidak mampu lagi merefleksikan cahaya-Nya. Sungguhkah?